Djakarta Artmosphere 2010: Tua atau Muda, Keduanya Beda dan Berbahaya






Musisi intas generasi dan lintas genre tampil sepanggung dalam konser persembahan G Production.

Pada Sabtu (20/11) lalu, ada dua ucapan singkat dari atas panggung di Katika Expo, Balai Kartini, Jakarta yang bisa langsung menjelaskan tujuan dari acara Djakartartmosphere dengan tepat.
Pertama dari mulut frontman Gugun Blues Shelter, Muhammad Gunawan, yang berkata, "Di Djakartartmosphere, gua bisa satu panggung dengan musisi-musisi yang lagu-lagunya gua pelajari pas gua masih SD."
Kedua dari Gede Roby Supriyanto, vokalis/gitaris Navicula, yang berkata, "Gua mendukung acara ini dari tahun lalu. Satu hal yang sangat payah dari industri musik Indonesia adalah sistem filing-nya. Dan acara ini cukup membantu masalah tersebut."
Ya, Djakartartmosphere adalah sebuah acara yang menjembatani dua generasi dan bertujuan untuk menarik minat anak muda terhadap musik-musik lawas Indonesia dan sebaliknya, menarik minat orang-orang yang lebih tua terhadap musik-musik Indonesia yang tergolong baru. Dengan kata lain, Djakartartmosphere adalah sebuah cara baru di industri musik Indonesia untuk menggali lebih dalam musik-musik tanah air yang orisinil dan berkualitas. Konsep ini sudah melekat sejak Djakartartmosphere diadakan untuk pertama kalinya pada tahun 2009 lalu yang bertajuk "Egaliter" dan menampilkan kolaborasi-kolaborasi dari Doel Sumbang dengan Efek Rumah Kaca, Fariz RM dan Oele Pattiselanno dengan White Shoes and the Couples Company, Ebiet G. Ade dengan Sore, sampai Vina Panduwinata dengan Tika and the Dissidents.
Untuk tahun ini, Djakartartmosphere hadir dengan tajuk "Lintas Kreasi, Lintas Generasi" dan menampilkan musisi-musisi berkualitas dengan fanbase yang tak perlu diragukan lagi.
Djakartartmosphere 2010 resmi dibuka dengan "Irish Girl" dari The Trees and the Wild yang langsung membuat para wanita di Balai Kartini berteriak histeris. Sound dan tata lampu yang jempolan membuat lagu "Irish Girl" yang renyah ini menjadi semakin sedap untuk dinikmati.
Pengusung musik retro pop asal Kota Kembang, Mocca, menjadi penampil berikutnya dengan membawakan dua buah lagu manis yang  masing-masing berjudul "Butterflies in My Tummy" dan "Lucky Me". Mereka bermain dengan sangat prima, terutama Riko Prayitno, sang gitaris, yang tak henti-hentinya bergerak dengan olah tubuh yang terkesan cool dan bowler hat di kepala.
Berikutnya giliran Bonita and the Hus Band untuk memamerkan musik soulful mereka lengkap dengan suara emas dari yang keluar dari mulut Bonita. Walaupun suara monitor yang terlalu kecil sempat beberapa kali mengganggu Bonita, mereka tetap tampil sangat enerjik dengan membawakan sebuah lagu dengan judul "Small Miracles".
Kelar memainkan "Small Miracles", Bonita pun memanggil nama yang sudah tidak asing lagi di telinga. Nama tersebut adalah Oddie Agam, penyanyi dan pencipta lagu yang mengalami masa jayanya di dekade 1980-an.
Oddie Agam sempat memanggil Bonita dengan nama Aretha Franklin dikarenakan kekaguman Oddie Agam terhadap kedahsyatan karakter suara Bonita yang memang menyerupai Aretha Franklin.
Kolaborasi Oddie Agam dengan Bonita and the Hus Band merupakan kolaborasi pertama pada malam itu. Mereka membawakan tembang Oddie Agam yang berjudul "Puncak Asmara". Kolaborasi yang atraktif tersebut terbukti membahagiakan para penonton yang hadir, terlihat dari senyuman yang mengambang di wajah setiap penonton.
“Kini, saya akan berkolaborasi dengan anak-anak dari The Trees and the Wild,” ucap Oddie Agam setelah merampungkan kolaborasinya dengan Bonita and the Hus Band. Proses substitusi pun terjadi di atas panggung. Seraya menunggu kesiapan pihak The Trees and the Wild, Oddie Agam usil memainkan lagu ciptaan Stevie Wonder, “Overjoyed”, untuk merangsang para penonton agar turut bernyanyi. Hal ini terbukti berhasil karena para penonton langsung terangsang untuk turut bernyanyi. Yang lebih menarik, lagu “Overjoyed” ini langsung dimedley dengan lagu ciptaan Oddie Agam yang berjudul “Aku Cinta Padamu”. Tidak berhenti di situ saja, “Aku Cinta Padamu” pun turut dimedley dengan salah satu lagu Oddie Agam yang tersohor, “Antara Anyer dan Jakarta”. Bahkan, sempat terjadi pembauran lagu di mana secara bersamaan vokalis The Trees and the Wild, Remedy Waloni, menyanyikan bait-bait dari lagu “Antara Anyer dan Jakarta” sementara Oddie Agam menyanyikan bait-bait dari lagu “Aku Cinta Padamu”. Senyum yang mengambang di wajah para penonton pun semakin lebar.
Berikutnya, Bonita and the Hus Band kembali menaiki panggung yang diikuti juga oleh Mocca. Kini Oddie Agam, The Trees and the Wild, Bonita and the Hus Band, dan Mocca berada di atas satu panggung. Tanpa basa-basi, “Surat Cintaku” langsung dibawakan oleh kolaborasi ini. Penonton pun semakin sumringah dan langsung turut menyanyikan lagu ini. Lagu andalan Oddie Agam lainnya, “Logika”, menjadi lagu penutup bagi kolaborasi yang aktraktif ini. Penampilan mereka hampir tidak memiliki cela. Semua berjalan dengan sangat mulus.
Leonardo Ringo, sebagai penampil berikutnya, mengemban tugas yang cukup berat untuk menghibur para penonton setelah kolaborasi sebelumnya tampil dengan sangat sukses. Tampil dengan wardrobe yang mengingatkan kita akan dekade 1950-an, Leonardo menghentak dengan “Midnight Hooray” yang memiliki nuansa rockabilly yang kental. Selesai membawakan lagu tersebut dan melihat resepsi dari penonton yang antusias, sepertinya bukanlah hal yang sulit bagi Leonardo Ringo untuk memuaskan para penonton dengan penampilannya. Nama-nama besar di penampil sebelumnya terbukti tidak berpengaruh bagi drummer Zeke and the Popo ini. Dia membawakan lagu-lagunya yang variatif secara aransemen dan lirik ini dengan brilyan. Brass section yang jempolan pun turut mendongkrak penampilan Leonardo Ringo yang kharismatik pada malam itu. Selain “Midnight Hooray”, Leonardo Ringo juga membawakan “Blatant” yang dibantu oleh Mian Tiara, “Something Between My Room and You”, dan juga single pertama dari album Leonardo yang berjudul The Sun, “Insecure”.
“Percaya atau tidak, gua di rumah punya kaset Utha Likamahuwa lengkap,” begitu celotehan Leonardo Ringo sebelum mengundang Utha Likumahuwa untuk bergabung dengannya di atas panggung. Kehadiran Utha Likumahuwa di atas panggung langsung mendorong para penonton yang lebih berumur untuk maju ke barisan depan. Tidak tanggung-tanggung, tiga buah lagu Utha Likumahuwa yang masing-masing berjudul “Esok Kan Masih Ada”, “Sesaat Kau Hadir”, dan “Aku Pasti Datang” serta satu buah lagu dari Leonardo dibawakan oleh kolaborasi ini. Penampilan Utha Likumahuwa pada malam itu sangatlah energetic. Dia berjingkrak ke sana ke mari memanfaatkan ukuran panggung yang cukup luas. Seringkali dia berdiri di bagian depan panggung untuk mendorong penonton agar turut bernyanyi. Dia juga sempat memainkan keyboard seraya tetap mengeluarkan suaranya yang memiliki cirri khas tersendiri. Umur seperti tidak berpengaruh bagi penyanyi berdarah Ambon ini.
Berikutnya giliran Gugun Blues Shelter untuk tampil dengan musik bluesnya yang menghentak, liar, namun terkadang tetap manis. Band yang sedang sering bermain di berbagai macam acara musik ini membawakan tiga buah lagu sendiri, yang salah satunya adalah nomor ballad berjudul “When I See You Again”, sebelum sang vokalis, Muhammad Gunawan, memanggil Sylvia Saartje, yang disebut-sebut sebagai lady rocker pertama di Indonesia. “Jakarta Blue Jeans Ku” yang diciptakan oleh Farid Hardja menjadi lagu pertama dari kolaborasi ini. Sylvia Saartje yang terkenal dengan suaranya yang serak ini memamerkan kemampuan vokalnya dengan membawakan “Geram” dan “Mr. Drifter”. Lengkingan-lengkingan panjang yang dkeluarkan oleh Sylvia Saartje sangatlah prima walaupun wanita ini sudah menginjak umur 53 tahun. Lagi-lagi, usia bukanlah penghalang bagi penampil senior di Djakartartmosphere. Sebuah lagu dari Gugun Blues Shelter yagn berjudul “Turn It On” menjadi lagu penutup kolaborasi yang unik ini.
Navicula, yang menjuluki mereka sendiri dengan sebutan Green Grunge Gentlemen, menjadi penampil berikutnya. Dibuka dengan “Menghitung Mundur”, mereka menunjukkan kualitas sound yang megah. Jika ada penghargaan untuk Sound Terbaik pada malam itu, maka Navicula adalah pihak yang paling tepat untuk mendapatkan penghargaan itu. Lagu mereka yang berbahasa Inggris, “Everyone Goes to Heaven”, sempat dibawakan sebelum mereka menutup penampilan dengan single mereka yang bercerita tentang busuknya kota Jakarta, “Metropolutan”. Gede Roby Supriyanto yang pada sela-sela lagu kerap mengeluarkan orasi yang cukup propagandis, semakin menggila sesaat sebelum dan ketika lagu ini dibawakan. Antusiasme para penonton yang hadir bisa jadi menjadi penyebab kegilaan frontman yang kharismatik ini.
Kini saatnya para suhu rock ‘n roll Indonesia, Godbless, untuk naik ke atas panggung. Aura di dalam ballroom Balai Kartini langsung berubah begitu Achmad Albar (vokalis), Ian Antono (gitaris), Donny Fatah Gagola (bassist), Abadi Soesman (kibordis), dan Yaya Moektio (drummer) telah berada di atas panggung. Keagungan setiap personil Godbless begitu terasa dengan mudah. Tanpa basa-basi, Godbless langsung menghajar para penonton dengan “N.A.T.O.” yang diambil dari album 36th. “Menjilat Matahari”, yang lirik indahnya ditulis oleh Jockie Suryoprayogo ketika masih menjadi kibordis Godbless, dibawakan sebagai lagu kedua. Para fans Godbless yang fanatik turut bernyanyi di sepanjang lagu ini dibawakan. “Anak Adam”, yang ditulis oleh Benny Likumahuwa dan Donny Fatah, menjadi santapan berikutnya.
Tiga lagu sudah dibawakan dan para suhu ini tidak memberikan tanda keletihan. Sebaliknya, mereka justru dengan semangat memanggil Navicula untuk kembali naik ke panggung dan melakukan kolaborasi yang telah ditunggu-tunggu oleh setiap penonton.
Lagu Godbless yang paling dikenal khalayak ramai, “Rumah Kita”, menjadi lagu pertama yang dibawakan oleh kolaborasi yang membunuh ini. “Insan Sesat” dan “Kehidupan”, yang masing-masing terdapat di album Cermin dan Semut Hitam, menyusul susunan lagu yang spektakuler dari kolaborasi ini.
Djakartartmosphere 2010 telah sampai di penghujung acara dan seluruh pengisi acara, mulai dari The Trees and the Wild hingga Utha Likumahuwa, diminta untuk naik ke atas panggung. Intro dari “Semut Hitam” pun berkumandang. Lagu yang megah dan mudah dinyanyikan ini dipilih sebagai lagu penutup untuk Djakartartmosphere kali ini. Lirik repetitif yang berbunyi “Semut hitam… semut hitam… ooo… maju jalan…” dinyanyikan oleh setiap pengisi acara dan dengan mudah merasuki kepala setiap pendengarnya. Sebuah penutupan acara yang tak terlupakan. Tak ketinggalan, percikan api dalam jumlah yang tidak sedikit sempat menyembur dari bibir panggung.
Dengan antusiasme yang begitu gilanya dari pihak penonton maupun pengisi acara, Djakartartmosphere 2010 “Lintas Kreasi, Lintas Generasi” adalah sebuah bukti bahwa yang beda dan berbahaya tidak hanya anak-anak muda, tapi juga orang-orang tua.(rollingstone indonesia)

Share Artikel ini ke teman-temanmu

Lihat Artikel Lainnya disini